Kamis, 16 Februari 2012

Episode Baru

Juli 2003

              Pagi yang cerah menyambut hari yang indah, burung –burung berkicau  saling sahut menyahut antara satu dengan yang lain. Tak ketinggalan ayampun juga saling berkokok untuk menyambut datangnya hari yang baru. Mataharipun dengan malu-malunya mulai mengintip dari ufuk timur yang mulai bangun dari tidur lelapnya malam sebelumnya. Pohon-pohon saling melambai-lambai dengan ranting dan daunnya yang hijau bersiap menyambut hari yang cerah untuk memulai barproses fotosintesis. Dari agak kejauhan beberapa petani dengan cangkulnya bersiap memulai berangkat ke sawah. Di sudut jalan yang lain beberapa ibu-ibu mulai berangkat ke pasar untuk membeli ataupun berjualan dengan barang bawaanya yang lumayan banyak dari hasil kebun untuk dijual. Beberapa anak kecil mulai riuh riang dengan suaranya yang khas ketika mualai berangkat ke sekolah. Jalan-jalan mualai bergeliat dengan rutinitasnya masing-masing. Ada yang pergi ke sawah, ada yang ke pasar, ada yang berangkat ke sekolah, ada juga yang sekedar jalan-jalan untuk olahraga. Aktifitas hari itupun dimulai dengan sangat indah, secerah matahari yang bersinar kala itu dalam menyambut datangnya hari.


           Di sebuah rumah yang khas dengan arsitektur Jawa-nya, yang tidak jauh dari jalan raya aku tidak ketinggalan ikut memulai hari itu dengan penuh semangat. Hari yang indah. Hari dimana episode kehidupan baruku dimulai hari itu. Saking semangatnya, aku memulai bangun pagi ketika azan shubuh berkumandang. Senyum ceria dari wajah kedua orang tua semakin mencerahkan hari itu. Senyum rasa bangga dari ayah dan ibu melepas anaknya untuk memulai babak kehidupan baru anaknya yang akan memulai bersekolah. Rasa bangga dan bahagianya ditujukan mereka dengan ikut bangun di pagi buta hanya untuk memasak sarapan pagi untuk buah hatinya yang memasukki episode baru dalam hidupnya. Ya, tiulah ibu dan bapakku yang sangat semangat ketika menyekolahkan anak-anaknya. Sebuah episode baru bagi keluarga sederhana ini karena aku hari itu mulai sekolah di jenjang yang lebih tinggi. SMA. Ya Sekolah Menegah Atas, hari itu aku mulai bersekolah di SMA. Sebuah masa dalam hidup ini untuk berubah dari masa anak-anak untuk menjadi dewasa. Ya, aku hari itu telah memulai babak baruku untuk menjadi seorang remaja. Sebuah masa yang harus aku lalui untuk menuju pribadi yang dewasa. Aku senang menjalaninya.
Kedua orangtuaku bahagia, karena aku dapat meneruskan ke sekolah negeri di kota ini walaupun hanya sebatas urutan ke tiga. Toh, itupun tidak mengurangi semangat orangtuaku untuk menyekolahkanku. Yang penting sekolah itu negeri, itu prinsip orangtuaku. Memang sekolah itu tidak bonafit alias terkenal seperti SMA-SMA lain di kota ini.  Tapi aku bangga dapat brsekolah di SMA ini. Kuncinya bersyukur. Kata inilah yang menjadi prinsipku dalam menjalani hidup. Banyak orang yang ikut mendaftar di sekolah ini, namun belum menjadi rejeki mereka. Sedangkan aku, alhamdulillah diterima di sekolah ini. Coba bayangkan saja jika aku tidak keterima di sekolah ini, mau sekolah dimana lagi aku ini??? Swasta??? Ya ampuuunnnn...aku tidak bisa membayangkan jika aku sekolah di swasta. Biaya yang sangat besar menanti di hadapan. Bapak cuma pegawai negeri biasa yang gajinya pas-pasan. Ibu cuma mengurus rumah tangga. Bisa-bisa kami sekeluarga mungkin tidak bisa makan, karena habis buat biaya sekolah jika aku sekolah di swasta. Alhamdulillah ya Alloh, Engkau masih memberikan nikmatMu kepada kami sekeluarga, sehingga aku bisa bersekolah di sekolah negeri.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS.Ibrahim :7)

           Ayat di atas adalah menjadi salah satu prinsip dalam hidupku.
Pagi itu aku bersiap berangkat ke sekolah yang baru di kota. SMA Negeri 3 Sragen. Ya, itulah sekolah baruku. Seorang anak desa di plosok akan memulai episode barunya di sekolah ini. Seorang anak desa yang jarang jalan-jalan ke kota. Seorang anak desa yang masih polos, belum tahu pergaulan dengan anak-anak kota. Seorang anak desa yang masih bersifat norak/kampungan ketika melihat suasana kota. Seorang anak yang belum tahu turun dimana, jalan kemana ketika akan menuju sekolah. Ya, itulah aku ketika memulai episode baru ini.

       Dengan sedikit terburu-buru aku mandi, sarapan pagi. Dengan tulusnya, ibu menyiapkan anaknya ini sepiring nasi yang masih panas di atas meja yang masih keluar asapnya. Dengan sedikit bersabar, kutunggu nasi itu agar sedikit hilang panasnya. Sayur dan laukpun sudah terhidang di meja. Kali ini aku sarapan dengan sayur sup dengan lauk tempe yang sedikit agak gosong. Perlahan sedikit demi sedikit nasi itu aku makan. Butir-butir nasi itu perlahan-lahan masuk kedalam mulutku. Ada sesuatu yang agak janggal ketika aku makan nasi, ternyata nasinya masih agak keras belum begitu matang. Akupun hanya terdiam dan membisu. Membayangkan perjuangan ibu yang rela bangun pagi-pagi demi menyiapkan makanan untuk anaknya, walaupun nasinya masih keras. Betapa gigihnya pengorbanan seorang ibu. Aku larut dalam lamunan. Tak mengapalah, aku akhirnya melanjutkan makan dengan sedikit agak kurang nyaman dengan nasi yang aku makan. Alhamdulillah habis juga akhirnya. Pagi itu aku sarapan sendirian. Bapak masih sibuk bersih-bersih dengan menyapu di halaman. Adik ku yang paling kecil masih terlelap dalam tidurnya, masih TK. Kedua kakak ku masih kuliah. Satu di Bogor, yang satu di Jember. Memaang aku di besarkan dalam keluarga yang sederhana dengan 4 bersaudara, laki-laki semua. Ibu masih asyik memasak di dapur sambil menunggu aku selesai makan. Nasi yang disediakan untukku sebenarnya masih dimasak. Aku tahu, ibuku tidak ikut makan karena masih menunggu benar-benar masak nasi itu. Nasi yang aku makan pun sebenarnya sudah bisa dimakan, hanya kurang sedikit matang saja. Ibu selalu mendahulukan aku ketika sarapan pagi, karena tahu aku berangkat sekolah jam 6 pagi.

        Aku sudah siap berangkat ke sekolah baru. Dengan masih menggunakan seragam pakaian SMP aku siap berganti sekolah ke SMA.
“Jangan lupa, uang naik bus di dalam gelas almari”..pesan ibu kepadaku. “Ya, bu” jawabku singkat. Aku masih ingat kala itu, uang naik bus ke sekolah bagi pelajar seperti ku hanya Rp.500. Ibuku selalu menyiapkan sejumlah uang receh dalam jumlah banyak yang ditaruh di dalam gelas almari untuk uang transport ku ke sekolah. Jadi ketika aku akan berangkat ke sekolah, aku tinggal ambil saja unag itu. Masalah uang saku, aku tidak terlalu memikirkan itu, toh aku sudah biasa tidak jajan dari SMP. Aku masih ingat, aku jajan ketika pas pelajaran olahraga saja..,itupun paling cuma Rp. 1000, tidak lebih dari itu. Untuk beli es Rp.500, makanan Rp.500. Terkadang aku juga membawa uang cadangan buat jaga-jaga di sekolah, tapi tidak terlalu banyak.
Akupun bersiap keluar rumah. Tak lupa aku berpamitan sama orangtua juga. Aku berjalan dengan senangnya kala itu. Aku berjalan menuju pinggir jalan raya. Dengan masih agak polos aku masih berjalan seperti anak-anak. Kususuri jalanan kampung itu yang sedikit agak berdebu karena musim kemarau. Di musim kemarau, jam 6 pagi sudah terasa garah, matahari menyengat kulit badan. Aku tak menghiraukan itu semua. Yang penting aku  berangkat sekolah baru dulu. Kulihat di sekeliling jalanan, banyak orang yang berlalu lalang sibuk dengan aktifitasnya masing masih. Akhirnya sampai juga di pinggir jalan raya untuk menunggu bus ke kota. Jalan raya semakin ramai oleh orang-orang dengan keperluannya masing-masing. Banyak anak-anak sekolah juga yang sedang menunggu bus ke kota. Ku lihat-lihat dari arah kanan belum ada bus yang lewat juga. Perlahan mataku tertuju ke sebelah kanan ketika ada bus yang mulai terlihat.

         “Ah..hanya bus kecil yang penuh orang-orang pasar, ogah naik ah. Bisa-bisa bajuku kotor dan bau oleh barang-barang pasar yang berisi sayur, ikan asin, garam dan barang-barang jualan pasar lainnya.”, batinku dalam hati.
Memang benar, bus yang ke kota itu bermacam-macam ukurannya. Aku masih ingat sampai sekarang. Bus-bus yang ke kota dari desa ku memang tidak besar-besar, hanya ukuran ¾ an saja yang melayani sampai ke terminal. Sedangkan yang ukuran kecil (mini bus) melayani ke kota namun ke pasarnya. Yang menjadi bus favoritku adalah bus ukuran ¾ karena tidak bau khas pedagang pasar..hehehe. Bus itu melayani Gemolong-Sragen-Sine. Bus itu menjadi favoritku, namanya bus Harta Sanjaya.

        Perlahan aku masih tertuju ke sebelah kanan. Mataku mulai menangkap bus Harta Sanjaya yang kutunggu akhirnya muncul juga, tepatnya jam 06.10. Aku semakin bersiap menyetop bus itu. Perlahan roda bus itu berhenti untuk menaikkan penumpang. Aku tidak sendirian. Banyak anak-anak sekolah yang juga ikut naik bus itu. Dengan sigapnya aku mulai rebutan naik dengan anak-anak sekolah yang lain. Canda tawa ketika menaikki bus itu semakin menambah semarak pagi kala itu. Akhirnya bisa naik juga ke dalam bus. Ternyata, di dalam bus sudah sangat sesak oleh anak-anak sekolah. Tidak ada tempat duduk lagi yang tersisa. Hampir semua penumpang adalah anak sekolah. Akupun hanya bisa berdiri. Teman-temanku yang lain juga berdiri. Pak kondektur rupanya sudah paham akan kondisi ini tiap hari sekolah. Pak kondektur langsung turun tangan untuk merapikan penumpang. Yang berdiri diatur agar merapat di sela-sela antara jok kursi bagian kanan dan kiri (di tengah-tengah) dengan menghadap kanan dan kiri. Akupun mengikuti perintah pak kondektur itu. Aku berdiri menghadap kesebelah kiri. Alhasil, semua penumpang tersebut kelihatan seperti ikan asin yang sedang di tata oleh nelayan..hahahaha (batinku tertawa).

       Bus pun melaju dengan perlahan-lahan kemudian agak cepat dan semakin cepat. Hampir dii setiap ada gang di pinngir jalan, bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Pak kondektur mualai beraksi dengan menarik uang receh dari anak-anak dengan kode tangannya yang berisi uang receh yang dibunyikan..crik..crik..crik..begitulah bunyinya. Tanpa banyak bicara aku mengeluarkan uang Rp.500. Aku kasih uang itu ke pak kondektur. Bus pun  kembali berhenti di pinngir gang jalan untuk menaikkan penumpang. Bus pun semakin sesak. Pak kondektur mulai beraksi lagi. Pak kondektur ada 2. Yang satu bertugas menari uang, yang satu mengatur penumpang. Yang paling menyebalkan adalah ketika penumpang sudah penuh, bus pun masih berhenti menaikkan penumpang. Tak ada satupun penumpang yang turun. Semua menuju Sragen kota. Alhasil bus pun semakin sesak. Pak kondektur mengatur barisan penumpang yang berdiri. Yang bagian denpan disuruh sedikit bergeser ke belakang. Yang bagian belakang disuruh geser sedikit ke depan. Hasilnya, penumpang yang bagian tengah tergencet, termasuk aku. “geser dikit nak ke belakang, geser dikit ke depan nak” itulah kata-kata pak kondektur yang masih aku ingat yang membuat jengkel. Gerah pun melanda tubuh ini. Badanku yang sudah bersih dan wangi habis mandi mulai bau lagi di dalam bus yang semakin sesak. Nafasku semakin sesak, sirkulasi udara di dalam bus tidak nyaman. Samua ventilasi bus tertutup dengan kerumunan anak-anak sekolah yang semaikin sesak. Akupun hanya pasrah. Sepatukupun tak luput terinjak-injak. Kotor, itulah kesan ku dalam hatiku ketika melihat sepatuku terinjak-injak penumpang. Dengan sedikit nakal, aku agak bersifat kasar dengan sedikit mendesak penumpang lain agar aku bisa sedikit bernafas. Huuuuh...akhirnya bisa bernafas juga, kataku dalam batin. Hari ini, tidak akan aku lupakan. Hari pertama masuk ke sekolah baru yang berjuta peristiwa tak terduga sebelumnya. Bus pun semakin kencang berjalan. Aku melihat keluar dari dalam bus. Kulihat pohon-pohon dan sawah-sawah berlarian satu sama lain, seolah-olah saling berkejaran. Hijaunya daun-daun pohon dan sawah seolah-olah menghilangkan kejengkelan ku dalam bus yang semakin sesak oleh peumpang. Kulihat dari jauh juga, para petani sedang mengerjakan sawah mereka. Perlahan bus ini melewati jembatan Sungai Bengawan Solo, sunga terpanjang di Pulau Jawa. Kulihat, air sungai mulai mengering, namun masih tersisa sedikit. Warnanya hitam pekat. Sungguh sayang sungai ini kataku dalam batin. Hanya orang-orang bodohlah yang merusak sungai ini dengan dalih untuk kepentingan perusahaan mereka. Melihat kondisi ini aku teringat firman Alloh dalam Al Qur’an:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 31)

       Aku semakin heran dengan ulah manusia zaman sekarang ini. Dimana-mana terjadi kerusakan alam di darat maupun laut. Akibatnya bencanapun datang secara tiba-tiba. Baru setelah itu manusia tersadar kepada Alloh SWT.
Bus pun meninggalkan jembatan Sungai Bengawan Solo. Perlahan hamparan sawah mulai terlihat kembali. Pohon-pohon hijau terjajar begitu rapi di pinggiran jalan. Subhanalloh... sungguh eloklah negeri ini, gumamku dalam hati. Burung-burung beterbangan mulai mencari makan untuk anak-anaknya. Orang Arab bilang, Indonesia adalah ibarat potongan surga. Subhanalloh, Maha Suci Alloh yang telah menciptakan bumi Indonesia yang indah ini. Tapi sayang,..banyak orang-orang yang di dalamnya yang kufur nikmat, tidak mensyukuri apa yang Alloh berikan di negeri ini. Kemaksiatan dimana-mana, korupsi mulai dari pusat sampai bawah yang sudah tidak tahu malu lagi. Para pejabat sibuk dengan harta kekayaaan mereka. Sementara di belahan Indonesia yang lain busung lapar melanda rakyat kecil. Para pejabat saling berebut “menggendutkan” perut mereka masing-masing. Para pemimpin semakin banyak yang berkhianat. Banyak rakyat negeri ini menjerit kelaparan di negeri yang dibilang potongan surga ini. Ibarat pepatah; rakyat kecil Indonesia ini “bagaikan ayam yang mati di lumbung padi”. Sungguh ironis memang melihat kondisi negeri ini. Aku hanya bisa berdoa di dalam hati dan ketika waktu sholat kepada Alloh SWT untuk merubah bangsa ini agar menjadi lebih baik, tidak ada kelaparan, kemaksiatan, korupsi di negeri ini lagi.

...”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang – orang yang bertaqwa. (QS. Al Furqon: 74)

      Aku hanya bisa memandangi alam luar sana dari dalam kaca bus yang masih berjalan dengan cepat. Lima belas menit sudah bus melaju ke arah kota. Tak terasa bus sudah memasuki wilayah perbatasan kota., tepatnya di Pungkruk, Sidoharjo. Di sini bus berhenti untuk menurunkan penumpang. Agak lega rasanya setelah beberapa penumpang turun. Nafaspun menjadi semakin lancar. Kulihat dari sisi kaca bus diluar sana tampak kesibukan yang mulai nyata. Banyak kendaraan yang akan menuju arah Solo, ada juga yang sedang menuju Kota Sragn. Bus-bus besar antar kota antar propinsi banyak yang lalu lalang melewati ring road( jalan lingkar) utara Sragen. Kebanyakan bus besar yang melewati ring road adalah bus –bus tujuan Surabaya. Kulihat Bus sumber Kencono, Bus Mira, Bus Eka, dan bus besar yang lainnya tujuan Solo- Sragen. Bus yang kutumpangi pun melaju lagi. Kali ini agak cepat, soalnya berada di jalan ring road yang sedikit lengang. Arus jalan terlihat lancar. Kulihat di jalan ringroad ini juga terhampar sawah hijau yang sangat luas. Subhanalloh...betapa besar ciptaanMu ya Alloh.. Para penumpang pun banyak yang sudah agak lega. Mereka sepertinya merasakan apa yang aku rasakan juga. Bisa benafas dengan lancar, tidak sesak seperti tadi. Mereka sibuk berbicara dengan temannya masing-masing. Ada yang bilang nanti ospeknya seperti apa, ada juga yang hanya melamun dan diam karena belum mempunyai teman. Termasuk aku yang dia juga. Dasar anak desa yang mau sekolah ke kota, mau bilang apa nanti di sekolah. Aku pun semakin larut memikirkan nanti di sekolah ketika hari pertama masuk. Akupun sudah tau hari ini akan ada ospek di sekolah. Segala bekal yang telah diperintahkan, sudah aku bawa semua. Amanlah pokoknya kalu sudah lengkap, ujarku dalam hati. Tak lupa aku juga memikirkan setibanya di sekolah. Aku mau berteman dengan siapa, duduk di urutan berapa, bagaimana kondisi orang-orang kota. Jauh pikiranku melayang hanya memikirkan kegundahan ku dihari pertama masuk SMA. Buspun akhirnya sampai juga di depan SMP 6 Sragen. Tanda inilah yang aku jadikan sebagai tempat berhenti bus menuju SMA. SMP 6...SMP 6...teriak pak kondektur. Buspun berhenti di tempat ini. Tempat yang sangat strategis. Kerena hampir kebanyakan penumpang turun di sini. Tempat ini. Tempat ini dijadikan penumpang untuk turun. Tempat ini berupa perempatan jalan yang sangat strategis yang mengubungkan SMA 2, SMA 3, SMK 2, SMK Sukowati, SMP 5 dan tentunya  SMP 6 itu sendiri. Perlahan lahan aku mulai berdesakan dengan penumpang lain untuk turun dari bus. Alhamdulillah...lega rasanya, ujarku dalam batin. Jam menunjukkan pukul 06.30. Para penumpang mulai berpencar menuju sekolah masing-masing. Ada yang langsung menuju SMP 6, bagi mereka yang sekolah disitu. Ada yang jalan lurus bagi mereka yang SMA 2. Tapi kebanyakan penumpang tadi menuju ke arah kanan jalan bersama ku. Ya memang, SMA 3, SMK2, SMK Sukowati, SMP 5 memang satu jalur denganku,hanya beda gang saja. Perhatianku tertuju pada angkot warna kuning. Banyak anak-anak sekolah tadi yang naik angkot untuk mengantar mereka ke sekolah. Sebenarnya jarak antara tempat bus tadi berhenti dengan sekolah mereka masing-masing tidak terlalu jauh bagiku. Kebanyakan mereka yang naik angkot adalah cewek. Aku tak menghiraukan mereka yang naik angkot. Bagiku, mereka adalah anak-anak yang manja. Hanya jalan sekitar 10 menit sebenarnya sudah sampai sekolah. 

     Akupun menlanjutkan jalanku bersama rombongan anak-anak sekolah lain yang jalan. Sepanjang jalan aku masih melihat hampatran sawah dan pohon-pohon hijau di daerah pinggiran kota Sragen ini. Aku mengamati terus menerus, melayang layang pikiran ini melihat indahnya ciptaan Alloh. Pohon-pohon berjajar dipinggir jalan, burung-burung berkicau dengan merdunya. Kutatap langit biru secerah biru lautan samudra. Sinar keemasan matahari seolah-olah menyapa diriku ini untuk menyamput episode baru ini. Pandanganku terusik, ketika aku melihat sungai kecil dipinggir sebelah kiri jalan. Airnya hitam pekat, seolah-olah menyiratkan kemuraman hari ini bagi air tersebut. Kulihat air tersebut sangat memprihatinkan, ingin menangis karena ternodai. Tetapi air tersebut mengalir dengan lancar. Bau menyengat air tersebut sedikit berbeda dari bau-bau limbah yang lain. Ternyata sungai mungil ini tercemari oleh limbah olahan tebu. Tercium dari dalam hidungku bau limbah yang agak sedikit bercampur bau manis, dan wangi. Ah...sungguh aneh aku ini, mana ada limbah berbau wangi.., ujarku dalam hati. Tapi ini memang benar kenyataan begini. Apa mungkin penciumanku sudah tidak normal lagi, batinku juga dalam hati. Ah...ga taulah, aku segera menepis perasaan aneh itu. Ternyata sungai sekecil inipun tak luput dari pencemaran oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Langkahku semakin cepat. Waktu menunjukkan pukul 06.45. Agak sedikit telat memang jalanku, mungkin karena aku terlalu banyak berkhayal di jalan tadi, sehingga jalanku agak sedikit lambat. Dari kejauhan aku sudah dapat melihat gerbang SMA 3 Sragen, sekolah yang aku tuju. Sekolah yang akan memulai episode baruku dalam hidup ini. Akhirnya, dengan agak sedikit cepat, kulangkahkan kaki ini menuju depan gerbang. Sampailah aku di sekolah yang baru ini. SMA Negeri 3 Sragen, seolah-olah tersenyum melihat kedatanganku di hari pertama sekolah. Aku memulainya dengan semangat yang membara. Kumulai dengan lafaz “bismillah” aku siap memulai di sekolah ini. Dan semenjak itu, episode baru dalam hidupku segera dimulai.

                                                                                                             Sragen, 17 Februari 2012


---------------------------------------bersambung---------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar