Lanjutan dari Episode Baru
Kelas
1.1
Senin, 14 Juli 2003
aku telah memulai di sekolah yang baru. Perlahan tapi pasti aku memasuki
gerbang SMAN 3 Sragen yang kala itu masih jelek, pagar besi warna biru yang
sudah usang dimakan usia, berkarat. Gedung sekolah yang yang sudah mulai pucat,
layu termakan usia, seperti tidak terurus sekian lama. Banyak cat gedung yang
terkelupas. Dari depan, masih nampak tulisan “sekolah pendidikan guru 1950”,
walaupun berusaha ditutupi dengan bangunan yang ada didepannya. Tapi tulisan
itu masih nampak dengan jelas olehku jika dilihat dari samping. Rupanya sekolah
ini bekas SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sebelum akhirnya dirubah oleh
pemerintah menjadi SMAN 3 Sragen sekitar tahun 1990-an. Langkahku semakin cepat
memasukki gerbang sekolah menuju papan pengumuman untuk pembagian kelas. Aku
tidak sendirian. Dari gerbang yang lain, aku melihat banyak anak-anak baru
mulai berdatangan juga masih lengkap dengan pakaian seragam SMP nya. Suasana
semakin ramai oleh siswa baru yang bersemangat menyambut sekolah baru mereka.
Ada yang datang dengan sendiri, ada juga yang sama temannya (mungkin teman
SMP), ada juga yang masih diantar sama orangtuanya (huffff...dasar anak manja,
teriakku dalam hati). Aku termasuk yang datang sendiri.
Pembagian kelas pun
telah selesai diumumkan. Aku mendapat tempat di kelas 1.1. Aku bertanya dalam
diri sendiri, mengapa aku ditempatkan di kelas 1.1? Kala itu aku sempat
kepikiran, kelas 1.1 apakah tempatnya anak-anak cerdas?, sehingga aku
ditempatkan di kelas ini?? Ah...tidak mungkinlah aku secerdas yang dimaksud.
Nilai ku kan pas-pas an ketika aku masuk sekolah ini. Tanpa pikir panjang aku
segera menepis perasaan itu. Mungkin sudah di acak sedemikian rupa sehingga aku
mendapat bagian kelas 1.1. Pikirankupun kembali melayang-layang terusik dengan
sebutan kelas yang agak aneh menurutku. Mengapa sekolah ini menggunakan nama
kelas 1.1, 1.2, 1.3..... sampai 1.8, bukan menggunakan kelas 1.A, 1.B, atau 1.C
...1.H saja??? Rasanya agak asing saja di telinga. Dulu waktu SMP, kelas di
bagi menjadi A, B, C dan sterusnya..., dan menurutku itu lebih senak didengar
ketimbang menggunakan angka. Huffff... jadi bingung sendiri saja. Aku terima
sajalah, daripada malah tambah pusing mikir itu.
Aku langsung mencari
kelas 1.1. Kulangkahkan kaki ini secepat mungkin untuk mencari kelas 1.1.
Ternyata sekolahan ini begitu besar, diluar apa yang aku kira. Pandanganku
tertuju pada sebuah lahan di dalam sekolah. Sawah, kebun, lahan luas yang
ditumbuhi pohon-pohon besar dan tinggi. Sungguh aneh, batinku dalam hati.
Bagaimana mungkin di dalam sekolah bisa ada sawah, kebun dan lahan yang masih
sangat luas dengan pohon-pohon besar seperti ini???? Wah,..ternyata sekolah ini
sangat unik. Kenehanku semakin bertambah, tatkala aku menuju blok kelas 1.1
sampai kelas 1.8, jalan menuju kelas itu serasa berada di rumah sakit. Jalan
berlorong dan berkelok-kelok lengkap dengan tiang-tiang besi berwarna biru di
sebelah sisi dan kanan dan kiri, atap-atapnya pun mirip seperti di rumah sakit,
jalannya pun lumayan panjang. Di sebelah kanan terlihat lahan kebun dan sawah
yang masih lumayan luas. Kulihat lahan disana seperti tidak terawat, semak
belukar menjalar kemana-mana, rumput-rumput semakin tak terawat, daun-daun dari
pohon yang berwarna kuning berguguran dimana-mana. Sekolah macam apa ini, ini
pantasnya disebut rumah sakit yang berada di dalam hutan, kataku dalam hati.
Hanya sawahnya saja yang sedikit terurus. Apakah sekolah ini tidak ada
penjaganya, sehingga sekolah ini kelihatan tidak terawat. Ah..pasti ada
penjaganya, tapi mungkin kurang maksimal dalam merawat sekolah ini, sehingga
kelihatan begitu kurang terawat.
Aku semakin berjalan
cepat menuju kelas yang kucari. Aku larut dalam lamunan dalam berjalan. Pakaian
yang kukenakan seragam SMP membuat aku merasa masih anak SMP, sulit di percaya
begitu cepatnya waktu berjalan sehingga aku sekarang sudah masuk di SMA. Topi
SMP warna biru, celana pendek warna biru tua dan baju putih dengan atribut OSIS
warna kuning yang tertempel di kantong saku baju dan atribut nama sekolah
bertuliskan ‘SLTP Negeri 1 Tanon, Sragen” yang tertempel di langan baju sebelah
kanan sebentar lagi aku akan tanggalkan. Baju putih dengan atribut OSIS warna
coklat tua dan celana panjang abu-abu siap aku kenakan untuk menggantikannya.
Langkahku terhenti di
depan sebuah kelas yang bertuliskan 1.1. Aku mengamatinya berkali-kali untuk
meyakinkan bahwa yang kumasuki benar-benar kelas 1.1. Setelah merasa sangat
yakin, akupun langsung masuk ke dalamnya. Hm....kelas yang tidak begitu besar,
ujarku dalam hati. Kelas yang agak sedikit gelap karena pencahayaan sinar matahari
yang kurang. Suasana kurang terang dalam kelas di sebabkan masih banyaknya
pohon di sekitar samping kelas, sehingga cahaya matahari yang masuk kurang
sempurna. Aku duduk diurutan meja noomor empat dari depan dari lima meja yang
tersedia, dan di baris ke dua dari sebelah kanan dari 4 baris yang tertata.
Satu meja digunakan untuk dua orang. Total siswa maksimal 40.
Sejenak aku duduk
sendirian di meja yang kupilih. Pandanganku mulai mengamati sekeliling ruangan
kelas. Kuliahat di sebelah kiri dan kanan banyak foto pahlawan yang terpampang.
Ada foto Jendral Ahmad Yani, Jendral S. Parman, MT. Haryono, dan beberapa tokoh
pahlawan lainnya. Kulihat juga ada jam didnding yang sedang berdetak menuju
pukul 07.00. Di bagian depan, nampak jelas gambar Presiden RI saat itu,
Megawati Soekarno Putri beserta wakilnya Dr. Hamzah Haz. Tak ketinggalan pula
gambar lambang burung garuda terletak diantara keduanya yang semakin menambah
warna di ruangan kelas. Beberapa kapur terletak di atas meja guru dengan
kondisi yang sudah patah-patah menjadi kecil, mungkin kapur bekas peninggalan
tahun ajaran sebelumnya kataku dalam hati. Di dinding sebelah meja guru
tergantug 2 penggaris kayu yang
ukurannya cukup besar, satu penggaris lurus dan yang satu penggaris segitiga.
Tak lupa ketinggalan vas bunga tiruan warna-wanrni menghiasi di meja guru yang
di balut taplak berwarna merah hati, yang membuat mata ini menjadi sejuk
melihatnya.
“Hai Fit...” panggil
seseorang anak yang tidak begitu besar dari samping kananku yang membuat
lamunanku buyar. “Kamu di kelas 1.1 tho..?” “Iya..”,jawabku singkat. Anak itu
kemudian duduk disampingku. Ternyata anak itu kenalanku waktu bertemu saat
daftar ulang di sekolah ini. Galih, namanya. Anak kecil asli kota Sragen yang
menurutku sangat gampang bergaul, dan agak sedikit belagu. Tapi sepertinya dia
anak baik-baik, semoga saja. Kamipun langsung akrab, ngobrol kesana kemari
sampai akhirnya bel berbunyi tanda waktu upacara hari Senin dimulai. Semua
siswa kelas 1,2,3 bergegas menuju lapangan upacara untuk memulai upacara
bendera hari Senin di tahun ajaran yang baru. Satu hal yang sangat aku tidak
suka di hari Senin, upacara bendeara. Berdiri kurang lebih 30-45 menit membuat
kaki ini seakan tidak kuat menahannya. Panas matahari yang menyengat semakin
membuat gerah dan muak dengan sesuatu yang berkaitan dengan upacara. Pidato
kepala sekolah yang sangat lama membuat telinga ini sudah tidak kuat
menahannya. Hanya seperti gemericik air yang mengalir yang aku dengarkan dari
pidato yang di sampaikan. Pikiranku melayang-layang entah keamana.
Teman-teman
baruku pada asyik mengobrol atau sekedar berkenalan satu sama lain. Aku hanya
terdiam. Sesekali si Galih yang merupakan satu-satunya orang yang aku kenal
mengajakku untuk ngobrol. Akupun hanya cengar cengir mendengar gaya bicaranya
yang belagu. Sesekali aku hanya mengucapkan kata “Ya” “He’em”, atau sekedar
menganggukkan kepala tanpa berucap panjang lebar. Sebenarnya aku mulai bosan
sih ketika ia mengajakku bicara. Aku merespon seperti itu agar tidak di
nianilai sombong saja. Sebenarnya aku juga ga ngerti apa yang ia bicarakan..hehhehehe.
Sepertinya teman-teman baruku sudah bosan dengan rutinitas upacara Senin.
Meereka menghilangkannya dengan mengobrol satu sama lain agar tidak jenuh.
Nampak dari kejauhan, sepertinya kakak-kakak kelas 2 ada yang pingsan.
Kebanyakan cewek yang pingsan. Aku pikir mereka pada belum sarapan pagi,
sehingga pingsan ketika upacara. Hemmmmm, dasar anak cewek manja, makanya
sarapan kalo pagi...candaku dalam hati yang agak sedikit mebuat ketawa dalam
diri. Akupun tersenyum sendiri...:). Upacara selesai juga akhirnya.... peserta
pada bubar meninggalkan lapangan. Ada himbauan, agar siswa baru untuk tetap di
tempat untuk dibari pengarahan dari kepala sekolah terkait pelaksanaan Masa
Orientasi Siswa (MOS)/ Ospek bahasa ngetrend nya. Huffff...hal ini membuat
kesal dan jengkel saja dalam diri. Akupun megikutinya dengan terpaksa. Panas
matahari semakin menyengat ketika siswa baru diberi pengarahan oleh kepala
sekolah. Layaknya ikan asin yang sedang dijemur. Matahari nampaknya kali ini
kurang bersahabat denganku...aku terus dibakarnya hingga kulitku memerah, badan
berbau keringat matahari. Matahari terus saja menyinariku, tanpa sedikitpun
menanyakan keadaanku seperti apa. Mataku mulai sayu. Badanku mulai sempoyongan,
namun aku tetap bertahan agar jangan sampai pingsan. Pengarahan dari kepala
sekolah aku biarkan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Rupanya, bukan
aku sendiri saja yang jengkel dengan keadaan seperti ini. Banyak dari
teman-temanku yang tidak konsentrasi mendengar pengarahan kepala sekolah. Hanya
terlihat beberapa siswa saja yang semangat mendengarkan. Dalam hatiku berkata,
pasti beberapa siswa itu anak-anak pandai nantinya di kelas. Ah..aku tidak memikirkan
hal-hal yang demikian. Bagiku yang terpenting saat ini adalah bagaimana aku
segera meninggalkan tempat yang sangat menjengkelkan ini.
Pengarahanpun
selesai, akhirnya kita semua bisa bubar meninggalkan lapangan untuk masuk ke
dalam kelas masing-masing. Akupun sangat senang. Kutatap matahari di atas sana
yang di klilingi langit biru yang sangat luas bersama dengan putihnya awan-awan
yang enggumpal bagaikan kapas. Rasanya aku ingin memarahinya, karena tidak
mengetahui perasaanku di bumi yang sangat kepanasan tadi. Mataharipun hanya
diam membisu, akan tetapi wajahnya tetap cerah mengeluarkan sinarnya yang panas
kala itu, tidak menghiraukan cercaan dalam hatiku. Aku mulai bosan dengan
sikapnya yang hanya diam saja. Kutinggalkan saja tatapan mataku terhadapnya.
Aku segera tersadar tidak ada gunanya aku mencaci maki matahari. Coba bayangkan
saja jika bumi ini tidak ada sinar matahari, semuanya bisa jadi membeku, semua
makhluk akan mati. Aku telah salah dalam menilai matahari. Mari kita sejenak
menyimak ayat Al Qur’an berikut ini;
“Dialah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia menentukan
(manzilah-manzilah) bagi perjalanannya supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan hisab (perhitungan waktu). Alloh tidak menjadikan itu kecuali dengan benar.
Dia menerangkan tanda-tanda-Nya bagi kaum yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Wah...luar biasa ayat
diatas. Ternyata aku kala itu salah menilai tentang matahari. Ternyata Alloh
menciptakan segala sesuatu itu tidak ada yang sia-sia. Boleh jadi kita menganggap
suatu hal itu buruk, namun disisi Alloh itu adalah hal yang baik. Juga
sebaliknya, boleh jadi kita menganggap suatu hal itu baik, namun disisi Alloh
itu adalah buruk.
Masa
Orientasi Siswa (MOS)
Aku mulai memasukki
kelas yang baru, 1.1. Tak ada yang istimewa bagiku tentang pengarahan dari
kepala sekolah tadi mengenai MOS. Mungkin karena aku tak mendengarkannya dengan
seksama. Matahari yang panas tadi membuat konsentrasiku buyar dalam menangkap
kata-kat yang keluar dari kepala sekolah tadi. Baiklah, kini sudah masuk kelas.
Paling tidak rasa teduh kini berkawan denganku. Duduk di kursi kayu yang sangat
keras, menghadap meja belajar yang sangat kotor karena coret-coretan pulpen dan
tipe-ex siswa lama menghiasi pandanganku saat itu. Kutatap meja didepanku yang
penuh coretan tadi. Ku pahami maksud dari coretan tadi. Ada beberapa kalimat
panjang yang tertulis. Ada juga hanya sekedar tulisan cinta. Ada juga kata-kata
kotor. Pokoknya lengkap sudah mejaku dengan segala kata-kata. Tampak
disebelahku, si Galih sedang asyik berkenalan dengan teman-teman barunya. Di
depanku duduk 2 anak cewek semua. Di belakangku,duduk 2 anak cowok. Aku bukan
tipe orang yang banyak bicara. Aku mulai bosan dengan hanya menatap meja dan
sekeliling tembok ruangan kelas. Perlahan kuberanikan untuk berbicara. Aku
mulai berkenalan dengan teman-teman baruku, namun hanya sebatas yang ada di depan dan yang di belakang.
Ternyata di depanku 2 anak cewek itu bernama Alin dan Windhi..2 anak cowok di
belakangku bernama Tomo dan Wahyu. Untuk sementara aku hanya mengenal 4 anak
itu, ditambah Galih teman satu meja denganku.. Oya lupa ternyata aku baru sadar
kalau di kelas ini ada teman ku dari SMP yang juga tetangga rumah, Ari Tantina.
Wah... payah banget aku ini, kenapa baru aku sadari kalau selama ini ada teman
SMP di dalam kelas ini...Jadi untuk sementara aku sudah punya 6 kenalan di
kelas ini dari 40 siswa.
Suasana semakin ramai
di dalam kelas. Wali kelas belum masuk. Alin dan Windhi ternyata tipe anak yang
cerewet, brisik banget. Tomo wataknya suka melucu, asyik kalo ngobrol
dengannya. Aku jadi lebih akrab sama Tomo dibanding Galih. Wahyu, tipenya anak
yang pendiam tidak banyak bicara seperti aku. Kelas makin ramai, tatkala ada
siswa yang belagu, congkak, dekil, kecil dan kerjanya membuat gaduh. Ternyata
baru aku sadari, dia anak yang tinggal kelas alias tidak naik kelas.
Satu persatu aku
amati setiap siswa yang belum aku kenal di kelas ini. Ternyata tampang-tampang
dari desa banyak juga yang bersekolah di sini. Aku merasa tidak sendirian,
setidaknya banyak anak kampung yang seperti aku. Aku merasa puas juga dengan
kondisi seperti ini. Ternyata, anak kampung seperti ku dapat mengalahkan anak
kota yang ingin masuk di sekolah ini. Jika tidak, mungkin kelas ini atau bahkan
sekolah ini akan diisi oleh anak-anak kota semuanya. Aku semakin larut dalam
kebaggaan terhadap diri sendiri. Nampak dari deretan meja sebelah kiri terlihat
anak yang sepertinya bukan anak desa. Dari gayanya, menunjukkan dia anak asli
kota. Ada sesuatu yang dipegangnya seperti remot. Jari-jarinya menari-nari di
atas remot itu, seperti memencet-mencet sesuatu. Dia asyik dalam kesibukannya
sendiri. Sesekali nampak dari mukanya tersenyum sendiri melihat benda seperi
remot kecil itu. Terkadang di letakkan di telinganya. Oh..ternyata aku baru tahu,
kalau yang di pegang anak itu telepon genggam alias HP. Hal yang jarang aku
lihat di desa, Mungkin hanya pernah aku lihat lewat kakakku yang ketika pulang dari
liburan kuliah membawa HP ketika di rumah. HP yang ketika di rumah cuma di
taruh di meja saja. Ketika ingin mengirim pesan atau telepon seseorang harus
keluar menuju sawah dulu untuk mencari sinyal. Atau pernah juga aku lihat di televisi.
Ya...HP yang kala itu masih menjadi barang yang langka dalam pandanganku. Tidak
semua orang memiliki. Bagiku saat itu HP masih menjadi barang yang mewah dalam
hidup, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memiliki. Akupun saat itu
belum terpikir untuk memiliki HP dalam hidup, masih merasa belum perlu. Hanya
beberapa orang saja dalam kelas ini yang memiliki HP, bisa dibilang mereka
orang yang lebih dari cukup.
Suasana kelas sesaat
mulai hening. Sesosok ibu kecil, dengan rok abu-abu dengan menggunakan peci
wanita khas PNS masuk ke dalam ruangan kelasku. Senyum mengembang dari bibir
ibu itu. Senyum ramah dan hangat di tahun ajaran baru untuk menyambut
siswa-siswa barunya. Semua pandangan
anak-anak tertuju pada ibu itu.
“selamat pagi
anak-anak”...sapa ibu itu dengan penuh semangat.
“selamat pagi bu....”
jawab serentak aku dan teman-temanku.
“selamat datang di
kelas baru, kelas 1.1 SMAN 3 Sragen ini. Perkenalkan nama saya Endang, panggil
saja Endang P atau bu Endang kimia, karena saya akan mengajar pelajaran Kimia
nantinya”. Di sini ibu di tugaskan dari sekolah untuk menjadi wali kelas 1.1.
Jadi nantinya, ibu akan menjadi ibu kedua kalian di sekolah ini”.
Aku sekarang tahu,
ibu itu nantinya akan menjaadi wali kelasku di kelas ini. Huruf P dibelakang
namanya aku tidak tahu kepanjangannya. Ibunya tidak menjelaskannya di kelas.
Setahuku kakak kelas banyak yang menyebutnya bu Endang P atau Endang Kimia. Aku
pikir, suatu saat nanti juga akan tahu sendiri kepanjangan huruf P di belakang
nama itu.
“Baiklah anak-anak,
sebelum kegiatan belajar dalam kelas ini dimulai, kalian semua akan diwajibkan
untuk mengikuti kegian Masa Orientasi Siswa (MOS) atau masa pengenalan sekolah
selama 3 hari; Senin, Selasa, Rabu. MOS ini wajib diikuti setiap siswa baru di
sekolah ini dan harus tuntas. Jika tidak mengikuti MOS, akan ada sanksi berupa
wajib mengikuti MOS tahun ajaran baru mendatang. Jadi, ibu harap kalian semuany
bisa mengikuti kegiatan ini sampai selesai. Mengerti...?” Tanya ibu itu kepada
kami.
“mengerti,
bu...”jawab serentak.
“Baiklah, sekarang
ibu akan izin undur dulu. Selamat mengikuti MOS”. Ibu itu akhirnya meninggalkan
kelas.
Kuamati ibu itu
perlahan meninggalkan kelas. Aku masih mengamati ibu itu. Berusaha mengingat
fisik beliau, jika mungkin ketemu di jalan agar bisa menyapanya. Kuamati terus,
wajahnya sedikit sudah agak tua sekitar 40-50 tahun usianya..,rambutnya sebatas
pundak, tebal, warna hitam, agak sedikit mengembang dan bergelombang. Tingginya
kira-kira sekitar 150 cm, memang tidak terlalu tinggi ibu itu.
Kelas pun kembali
bergermuruh oleh suara siswa. Banyak yang asyik berbicara sendiri, akupun tak
ketinggalan. Suasana kelas kembali tenang, setelah ada sesorang yang masuk ke
dalam kelas. Badannya lumayan tinnggi, memakai baju putih OSIS dan celana
panjang abu-abu. Rupanya dia adalah anak OSIS. Pandanganku tertuju padanya.
Sejenak kemudian, dia mulai berbicara di dalam kelas. Dia memperkenalkan
dirinya. Namanya Kurniawan DM. Ketua OSIS SMAN 3 Sragen saat itu. Dia
menjelaskan bahwa nantinya MOS ini akan di pegang oleh anak-anak OSIS.
Bayanganku langsung melayang-layang. Pasti ini nantinya akan ada “gojlok”an
nantinya alias perploncoan. Aku tidak gentar semuanya jika benar terjadi
gojlok-an nantinya. Mentalku sudah terbentuk dari SMP dulu lewat Pramuka selama
2,5 tahun. Segala macam gojlok-an pernah aku alami. Bayanganku semakin
melayang-layang memikirkan arah MOS yang akan dijalankan. Senior-senior
“tengik” ini nanti pasti akan membuat ketakutan banyak siswa.
Tak lama kemudian, ia
menjelaskan perihal organisasi di sekolah di bawah OSIS. Dari gaya bcaranya,
orang ini sepertinya sudah banyak makan garam tentang organisasi. Ia kemudian
menjelaskan tentang salah satu organisasi di bawah OSIS adalah adanya bidang
Kerohanian Islam (Rohis). Dia pun menjelaskan, semua siswa yang beragama Islam
boleh ikut di Rohis. Akupun teringat pesan kakakku yang kuliah di Jember, jika
nanti masuk SMA, ikut organisasi Rohis saja. Sejenak aku terdiam, berbicara
dalam hati “wah kesempatan nih buat masuk Rohis”, aku pun langsung bertanya
sama ketua OSIS itu.
“ Mas, kalau saya
ikut Rohis bisa ga, tapi kan saya ga menjabat sie kerohanian Islam di kelas,
gimana”.. tanyaku.
“Oh..bisa dik,
semuanya bisa masuk Rohis bagi siswa yang Islam”. Kalau ada yang berkenan masuk
Rohis silakan hubungi kakak-kakak di OSIS yang bidang Kerohanian Islam agar
bisa di urus”. Jawabnya..
Wajahku langsung
berseri-seri mendengar jawaban dari senior itu.
Perkenalan dari OSIS
pun usai. Kini giliran bebrapa orang lain masuk kedalam kelas. Mereka
menyatakan akan mengatur jalannya MOS di kelas ku. Akupun mulai gusar mendengar
pernyataan senior –senior itu. Wajah-wajah meraka menunjukkan kesombongan,
tengik, angker. Itulah kesan ku pada meraka. MOS ini pasti akan berjalan tegang
nantinya. Kekhawatiranku ternyata benar..Kami sekelas disuruh keluar menuju
halaman depan sekolah. Diatur beris berbaris seperti tentara. Hal yang palin
aku benci kal itu, ketika orang lain mengaturku sesukanya.
Hari semakin panas
saja. Peralata MOS seperti topi dari koran pun disuruh dipakai kepala. Ibarat
seperti anak gelandangan saja. Memangnya sudah tidak ada topi lain lagi apa...
Satu persatu disuruh baris berbaris, mulai dari langkah tegap, jalan di tempat,
lencang kanan-kiri, lencang depan, istirahat di tempat dan segalanya di lakukan
di halaman sekolah yang sangat panas kala itu. Hatiku semakin jengkel,
bagaimana mungkin senior-senior tengik ini bisa sesukanya mengatur kami..aku
hanya bisa menggerutu dari dalam hati. Jika ada gerakan yang salah, maka
langsung di hukum push-up. Sungguh... ini merupakan penganiayaaan terhadap
siswa baru. Aku sebenarnya sudah terlatih seperti ini tatkala aku ikut Pramuka
2,5 tahun waktu SMP dulu. Aku hanya kasian dengan temen-temanku yang tidak ada
bekal seperti aku.
Wajah-wajah kusut,
bercampur debu warna coklat kehitam-hitaman pun menghiasi diri dan
teman-temanku. Senior-senior tengik itupun tak henti-hentinya membentak-nbentak
kami. Ingin rasanya aku memukul mereka, tapi apa daya aku tak sanggup, takut
malah menambah masalah. Aku hanya terdiam dan terdiam mengikuti perintah
senior-senior yang tidak bersahabat itu. Waktu sholat zuhur pun tiba, saatnya
istirahat. Kami pun disuruh untuk menjalankan sholat zuhur. Hatiku tersa
gembira, akhirnya bisa lepas juga dari cengraman senior-senior tengik itu.
Aku langsung menuju
masjid sekolah. Masjid yang sangat elok dalam pandanganku. Masjid sekolah yang terbesar
yang pernah aku lihat dari masjid-masjid sekolah lain. Aku menuju tempat wudhu.
Kubuka air kran itu dengan segera. Air jernih memancar keluar dari
lubang-lubang kran yang kubuka. Air yang sangat bersahabat dengan ku. Air yang
sekan ingin berteman denganku. Air yang seakan-akan mengucapkan selamat datang
di sekolah ini kepadaku. Berharap aku rajin untuk membukanya setiap waktu
sholat tiba. Berharap aku dapat memakmurkan masjid ini. Oh...sungguh luar biasa
air ini. Begitu segar. Kelelahanku jatuh satu persatu setelah kubasuh muka ini
dengan air wudhu...subhanalloh...rasa tenang dan damai menyelimuti hatiku.
Mendinginkan emosiku yang seharian dirundung rasa jengkel dan sebal oleh
senior-senior tengik. Aku mulai menunaikan sholat zhuhur berjama’ah dengan
kawan-kawan. Setelah sholat selesai, aku duduk-duduk diserambi masjid sembari
menunggu waktu MOS dimulai kembali. Rasa tenang dan sejuk menyelimuti diri ini
ketika berada di dalam masjid. Ingin rasanya berlama-lama di dalam rumah Alloh
ini. Ingin mendekat kepada-Nya. Warna cat putih masjid semakin menambah rasa
tenang dan tentram ketika berlama-lama di masjid.
Acara MOS pun dimulai
lagi. Ingin rasanya kegiatan ini cepat selesai,agar cepat terlepas dari
cengkraman senior-senior yang tengik yang sadis. Kegiatan banyak dilakukan
diluar kelas. Acara MOS yang monoton semakin menambah rasa bosan ku terhadap
kegiatan orientasi sekolah ini. Baris berbaris pun usai, ganti kegiatan lain
yang sebenarnya ga ada manfaatnya bagi ku. Kulihat di luar sana nampak senior-senior
kelas 2 dan 3 pada melihat kami yang sedang di gojlok oleh senior tengik yang
menyebalkan. Sesekali pandanganku tertuju pada jalan raya di luar sekolah yang
berlalu lalang kendaraan yang lewat. Mobil, motor, pejalan kaki semuanya tidak
mau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami. Kulihat burung dan kupu-kupu di
luar sana terbang denga bebasnya. Ingin rasanya aku seperti mereka , terbang
bebas tanpa beban. Rumput dan taman di halaman sekolah juga hanya diam membisu,
seolah tak menghiraukan kami yang sedang dijemur di bawah teriknya matahari
siang.
Tiga hari sudah MOS
dilaksanakan. Hari ini, Rabu. Hari terkhir MOS. Aku berharap agar hari ini
cepet berlalu dan kau bisa langsung memulai pelajaran yang baru di sekolah.
Serta ingin cepat-cepat rasanya segera mengenakan seragam putih abu-abu.
Seperti biasanya, hari terakhir ini juga diisi dengan kegitan monoton dari
senior-senior tengik itu. Jenuh. Bekal air dan makanan nasi yang aku bawa dari
rumah ingin rasanya segera aku makan untuk menghilangkan stres selam tiga hari
mengikuti kegiatan ini. Hari terakhir ini ada sedikit berbeda. Kami tidak
lama-lama di jemur di bawah teriknya matahari.
Aku dan teman-teman
lain digiring masuk ke dalam aula sekolah. Senior –senior tengik itu
seakan-akan ingin akrab denagn kami siswa baru. Acara diisi ramah tamah dari
senior-senior yang selama hampir tiga hari ini menjengkelkan dalam benakku dan
juga teman-teman. Mulai dari perkenalan mereka semua sampai menawarkan untuk
ikut kegiatan di sekolah. Bosan rasanya mendengar celotehan mereka semua. Yang
aku inginkan segera adalah berakhirnya kegiatan ini. Namun di dalam aula ini
sepertinya masih panjang lebar acaranya. Semakin bosan saja aku mendengarnya.
Di akhir acara,
rupanya senior tengik itu belum berhenti berulah untuk menggojlok kami. Mereka
marah-marah semua. Membentak-bentak kami lebih keras dari 2 hari sebelumnya.
Omongan mereka seperti macan dan singa. Tak jelas sebab musababnya mereka
memarahi kami sampai habis-habisan. Mereka seperti kerasukan setan. Payah. Pendidikan
macam apa ini, ujarku dalam hati. Namun aku hanya terdiam membisu. Beberapa
orang dipanggil untuk maju ke depan. Mereka di habisi dengan cara dimaki-maki
oleh senior-senior tengik itu. Beberapanya ada yang menangis. Senior-senior tak
ada yang bersimpati. Sampai pada puncaknya adalah “pertunjukan” dimana senior
kelas 2 dan kelas 3 saling bentrok yang membuat semua siswa baru ketakutan,
termasuk aku. Aku Cuma menggerutu dalam hati, pertunjukan macam apa lagi ini.
Tak sedikitpun yang mendidik bagi kami, kegiatan orientasi yang sia-sia saja.
Di akhir acara, para senior ternyata memberi kejutan kepada teman-teman yang di
suruh ke depan tadi. Mereka diberi kejutan karena bulan Juli saat itu mereka
ulang tahn...suasana kembali mencair. Tangis dan malupun ditunjukan teman-teman
yang ada di depan. Sorak dan gemuruh pun menggema di aula. Aku hanya diam saja,
sesekali cuma tersenyum, pura-pura ikut senang ikut acara ini. Aku hanya bisa
berkata dalam hati, memberi kejutan kepada adik-adiknya yang lagi ulang tahun
koq begini caranya. Kejutan yang tidak mendidik, kejutan yang tidak ada
menfaatny sama sekali, kejutan yang membuat orang terlukai. Perlu dirubah pola
pikir senior-senior tengik itu. Jika ingin memberi kejutan kepada adik-adiknya,
berilah kejutan yang mendidik, yang bermanfaat. Karena kita seorang pelajar,
berilah contoh yang mendidik. Karena kita adalah orang yang terdidik....bukan
orang yang bodoh yang tidak mengerti pendidikan.
-----------------------------------bersambung-------------------------------------------
19 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar