Pagi yang cerah
menyambut hari yang indah, burung –burung berkicau saling sahut menyahut antara satu dengan yang
lain. Tak ketinggalan ayampun juga saling berkokok untuk menyambut datangnya
hari yang baru. Mataharipun dengan malu-malunya mulai mengintip dari ufuk timur
yang mulai bangun dari tidur lelapnya malam sebelumnya. Pohon-pohon saling
melambai-lambai dengan ranting dan daunnya yang hijau bersiap menyambut hari
yang cerah untuk memulai barproses fotosintesis. Dari agak kejauhan beberapa
petani dengan cangkulnya bersiap memulai berangkat ke sawah. Di sudut jalan
yang lain beberapa ibu-ibu mulai berangkat ke pasar untuk membeli ataupun
berjualan dengan barang bawaanya yang lumayan banyak dari hasil kebun untuk
dijual. Beberapa anak kecil mulai riuh riang dengan suaranya yang khas ketika
mualai berangkat ke sekolah. Jalan-jalan mualai bergeliat dengan rutinitasnya
masing-masing. Ada yang pergi ke sawah, ada yang ke pasar, ada yang berangkat
ke sekolah, ada juga yang sekedar jalan-jalan untuk olahraga. Aktifitas hari
itupun dimulai dengan sangat indah, secerah matahari yang bersinar kala itu
dalam menyambut datangnya hari.
Di sebuah rumah yang
khas dengan arsitektur Jawa-nya, yang tidak jauh dari jalan raya aku tidak
ketinggalan ikut memulai hari itu dengan penuh semangat. Hari yang indah. Hari
dimana episode kehidupan baruku dimulai hari itu. Saking semangatnya, aku
memulai bangun pagi ketika azan shubuh berkumandang. Senyum ceria dari wajah
kedua orang tua semakin mencerahkan hari itu. Senyum rasa bangga dari ayah dan
ibu melepas anaknya untuk memulai babak kehidupan baru anaknya yang akan
memulai bersekolah. Rasa bangga dan bahagianya ditujukan mereka dengan ikut
bangun di pagi buta hanya untuk memasak sarapan pagi untuk buah hatinya yang
memasukki episode baru dalam hidupnya. Ya, tiulah ibu dan bapakku yang sangat
semangat ketika menyekolahkan anak-anaknya. Sebuah episode baru bagi keluarga
sederhana ini karena aku hari itu mulai sekolah di jenjang yang lebih tinggi.
SMA. Ya Sekolah Menegah Atas, hari itu aku mulai bersekolah di SMA. Sebuah masa
dalam hidup ini untuk berubah dari masa anak-anak untuk menjadi dewasa. Ya, aku
hari itu telah memulai babak baruku untuk menjadi seorang remaja. Sebuah masa
yang harus aku lalui untuk menuju pribadi yang dewasa. Aku senang menjalaninya.
Kedua orangtuaku
bahagia, karena aku dapat meneruskan ke sekolah negeri di kota ini walaupun
hanya sebatas urutan ke tiga. Toh, itupun tidak mengurangi semangat orangtuaku
untuk menyekolahkanku. Yang penting sekolah itu negeri, itu prinsip orangtuaku.
Memang sekolah itu tidak bonafit alias terkenal seperti SMA-SMA lain di kota
ini. Tapi aku bangga dapat brsekolah di
SMA ini. Kuncinya bersyukur. Kata inilah yang menjadi prinsipku dalam menjalani
hidup. Banyak orang yang ikut mendaftar di sekolah ini, namun belum menjadi
rejeki mereka. Sedangkan aku, alhamdulillah diterima di sekolah ini. Coba
bayangkan saja jika aku tidak keterima di sekolah ini, mau sekolah dimana lagi
aku ini??? Swasta??? Ya ampuuunnnn...aku tidak bisa membayangkan jika aku
sekolah di swasta. Biaya yang sangat besar menanti di hadapan. Bapak cuma pegawai
negeri biasa yang gajinya pas-pasan. Ibu cuma mengurus rumah tangga. Bisa-bisa
kami sekeluarga mungkin tidak bisa makan, karena habis buat biaya sekolah jika
aku sekolah di swasta. Alhamdulillah ya Alloh, Engkau masih memberikan nikmatMu
kepada kami sekeluarga, sehingga aku bisa bersekolah di sekolah negeri.
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS.Ibrahim :7)
Ayat di atas adalah
menjadi salah satu prinsip dalam hidupku.
Pagi itu aku bersiap
berangkat ke sekolah yang baru di kota. SMA Negeri 3 Sragen. Ya, itulah sekolah
baruku. Seorang anak desa di plosok akan memulai episode barunya di sekolah
ini. Seorang anak desa yang jarang jalan-jalan ke kota. Seorang anak desa yang
masih polos, belum tahu pergaulan dengan anak-anak kota. Seorang anak desa yang
masih bersifat norak/kampungan ketika melihat suasana kota. Seorang anak yang
belum tahu turun dimana, jalan kemana ketika akan menuju sekolah. Ya, itulah
aku ketika memulai episode baru ini.
Dengan sedikit
terburu-buru aku mandi, sarapan pagi. Dengan tulusnya, ibu menyiapkan anaknya
ini sepiring nasi yang masih panas di atas meja yang masih keluar asapnya.
Dengan sedikit bersabar, kutunggu nasi itu agar sedikit hilang panasnya. Sayur
dan laukpun sudah terhidang di meja. Kali ini aku sarapan dengan sayur sup
dengan lauk tempe yang sedikit agak gosong. Perlahan sedikit demi sedikit nasi
itu aku makan. Butir-butir nasi itu perlahan-lahan masuk kedalam mulutku. Ada
sesuatu yang agak janggal ketika aku makan nasi, ternyata nasinya masih agak keras
belum begitu matang. Akupun hanya terdiam dan membisu. Membayangkan perjuangan
ibu yang rela bangun pagi-pagi demi menyiapkan makanan untuk anaknya, walaupun
nasinya masih keras. Betapa gigihnya pengorbanan seorang ibu. Aku larut dalam
lamunan. Tak mengapalah, aku akhirnya melanjutkan makan dengan sedikit agak
kurang nyaman dengan nasi yang aku makan. Alhamdulillah habis juga akhirnya.
Pagi itu aku sarapan sendirian. Bapak masih sibuk bersih-bersih dengan menyapu
di halaman. Adik ku yang paling kecil masih terlelap dalam tidurnya, masih TK.
Kedua kakak ku masih kuliah. Satu di Bogor, yang satu di Jember. Memaang aku di
besarkan dalam keluarga yang sederhana dengan 4 bersaudara, laki-laki semua.
Ibu masih asyik memasak di dapur sambil menunggu aku selesai makan. Nasi yang
disediakan untukku sebenarnya masih dimasak. Aku tahu, ibuku tidak ikut makan
karena masih menunggu benar-benar masak nasi itu. Nasi yang aku makan pun
sebenarnya sudah bisa dimakan, hanya kurang sedikit matang saja. Ibu selalu
mendahulukan aku ketika sarapan pagi, karena tahu aku berangkat sekolah jam 6
pagi.
Aku sudah siap
berangkat ke sekolah baru. Dengan masih menggunakan seragam pakaian SMP aku siap
berganti sekolah ke SMA.
“Jangan lupa, uang
naik bus di dalam gelas almari”..pesan ibu kepadaku. “Ya, bu” jawabku singkat.
Aku masih ingat kala itu, uang naik bus ke sekolah bagi pelajar seperti ku
hanya Rp.500. Ibuku selalu menyiapkan sejumlah uang receh dalam jumlah banyak yang
ditaruh di dalam gelas almari untuk uang transport ku ke sekolah. Jadi ketika
aku akan berangkat ke sekolah, aku tinggal ambil saja unag itu. Masalah uang
saku, aku tidak terlalu memikirkan itu, toh aku sudah biasa tidak jajan dari
SMP. Aku masih ingat, aku jajan ketika pas pelajaran olahraga saja..,itupun paling
cuma Rp. 1000, tidak lebih dari itu. Untuk beli es Rp.500, makanan Rp.500.
Terkadang aku juga membawa uang cadangan buat jaga-jaga di sekolah, tapi tidak
terlalu banyak.
Akupun bersiap keluar
rumah. Tak lupa aku berpamitan sama orangtua juga. Aku berjalan dengan
senangnya kala itu. Aku berjalan menuju pinggir jalan raya. Dengan masih agak
polos aku masih berjalan seperti anak-anak. Kususuri jalanan kampung itu yang
sedikit agak berdebu karena musim kemarau. Di musim kemarau, jam 6 pagi sudah
terasa garah, matahari menyengat kulit badan. Aku tak menghiraukan itu semua.
Yang penting aku berangkat sekolah baru
dulu. Kulihat di sekeliling jalanan, banyak orang yang berlalu lalang sibuk
dengan aktifitasnya masing masih. Akhirnya sampai juga di pinggir jalan raya
untuk menunggu bus ke kota. Jalan raya semakin ramai oleh orang-orang dengan
keperluannya masing-masing. Banyak anak-anak sekolah juga yang sedang menunggu
bus ke kota. Ku lihat-lihat dari arah kanan belum ada bus yang lewat juga.
Perlahan mataku tertuju ke sebelah kanan ketika ada bus yang mulai terlihat.
“Ah..hanya bus kecil
yang penuh orang-orang pasar, ogah naik ah. Bisa-bisa bajuku kotor dan bau oleh
barang-barang pasar yang berisi sayur, ikan asin, garam dan barang-barang
jualan pasar lainnya.”, batinku dalam hati.
Memang benar, bus
yang ke kota itu bermacam-macam ukurannya. Aku masih ingat sampai sekarang.
Bus-bus yang ke kota dari desa ku memang tidak besar-besar, hanya ukuran ¾ an
saja yang melayani sampai ke terminal. Sedangkan yang ukuran kecil (mini bus)
melayani ke kota namun ke pasarnya. Yang menjadi bus favoritku adalah bus
ukuran ¾ karena tidak bau khas pedagang pasar..hehehe. Bus itu melayani
Gemolong-Sragen-Sine. Bus itu menjadi favoritku, namanya bus Harta Sanjaya.
Perlahan aku masih
tertuju ke sebelah kanan. Mataku mulai menangkap bus Harta Sanjaya yang
kutunggu akhirnya muncul juga, tepatnya jam 06.10. Aku semakin bersiap menyetop
bus itu. Perlahan roda bus itu berhenti untuk menaikkan penumpang. Aku tidak
sendirian. Banyak anak-anak sekolah yang juga ikut naik bus itu. Dengan
sigapnya aku mulai rebutan naik dengan anak-anak sekolah yang lain. Canda tawa
ketika menaikki bus itu semakin menambah semarak pagi kala itu. Akhirnya bisa
naik juga ke dalam bus. Ternyata, di dalam bus sudah sangat sesak oleh
anak-anak sekolah. Tidak ada tempat duduk lagi yang tersisa. Hampir semua
penumpang adalah anak sekolah. Akupun hanya bisa berdiri. Teman-temanku yang
lain juga berdiri. Pak kondektur rupanya sudah paham akan kondisi ini tiap hari
sekolah. Pak kondektur langsung turun tangan untuk merapikan penumpang. Yang
berdiri diatur agar merapat di sela-sela antara jok kursi bagian kanan dan kiri
(di tengah-tengah) dengan menghadap kanan dan kiri. Akupun mengikuti perintah
pak kondektur itu. Aku berdiri menghadap kesebelah kiri. Alhasil, semua
penumpang tersebut kelihatan seperti ikan asin yang sedang di tata oleh
nelayan..hahahaha (batinku tertawa).
Bus pun melaju dengan
perlahan-lahan kemudian agak cepat dan semakin cepat. Hampir dii setiap ada
gang di pinngir jalan, bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Pak kondektur
mualai beraksi dengan menarik uang receh dari anak-anak dengan kode tangannya
yang berisi uang receh yang dibunyikan..crik..crik..crik..begitulah bunyinya.
Tanpa banyak bicara aku mengeluarkan uang Rp.500. Aku kasih uang itu ke pak
kondektur. Bus pun kembali berhenti di
pinngir gang jalan untuk menaikkan penumpang. Bus pun semakin sesak. Pak
kondektur mulai beraksi lagi. Pak kondektur ada 2. Yang satu bertugas menari
uang, yang satu mengatur penumpang. Yang paling menyebalkan adalah ketika
penumpang sudah penuh, bus pun masih berhenti menaikkan penumpang. Tak ada
satupun penumpang yang turun. Semua menuju Sragen kota. Alhasil bus pun semakin
sesak. Pak kondektur mengatur barisan penumpang yang berdiri. Yang bagian
denpan disuruh sedikit bergeser ke belakang. Yang bagian belakang disuruh geser
sedikit ke depan. Hasilnya, penumpang yang bagian tengah tergencet, termasuk
aku. “geser dikit nak ke belakang, geser dikit ke depan nak” itulah kata-kata
pak kondektur yang masih aku ingat yang membuat jengkel. Gerah pun melanda
tubuh ini. Badanku yang sudah bersih dan wangi habis mandi mulai bau lagi di
dalam bus yang semakin sesak. Nafasku semakin sesak, sirkulasi udara di dalam
bus tidak nyaman. Samua ventilasi bus tertutup dengan kerumunan anak-anak
sekolah yang semaikin sesak. Akupun hanya pasrah. Sepatukupun tak luput
terinjak-injak. Kotor, itulah kesan ku dalam hatiku ketika melihat sepatuku
terinjak-injak penumpang. Dengan sedikit nakal, aku agak bersifat kasar dengan
sedikit mendesak penumpang lain agar aku bisa sedikit bernafas.
Huuuuh...akhirnya bisa bernafas juga, kataku dalam batin. Hari ini, tidak akan
aku lupakan. Hari pertama masuk ke sekolah baru yang berjuta peristiwa tak
terduga sebelumnya. Bus pun semakin kencang berjalan. Aku melihat keluar dari
dalam bus. Kulihat pohon-pohon dan sawah-sawah berlarian satu sama lain,
seolah-olah saling berkejaran. Hijaunya daun-daun pohon dan sawah seolah-olah
menghilangkan kejengkelan ku dalam bus yang semakin sesak oleh peumpang.
Kulihat dari jauh juga, para petani sedang mengerjakan sawah mereka. Perlahan
bus ini melewati jembatan Sungai Bengawan Solo, sunga terpanjang di Pulau Jawa.
Kulihat, air sungai mulai mengering, namun masih tersisa sedikit. Warnanya hitam
pekat. Sungguh sayang sungai ini kataku dalam batin. Hanya orang-orang bodohlah
yang merusak sungai ini dengan dalih untuk kepentingan perusahaan mereka.
Melihat kondisi ini aku teringat firman Alloh dalam Al Qur’an:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 31)
Aku semakin heran dengan ulah
manusia zaman sekarang ini. Dimana-mana terjadi kerusakan alam di darat maupun
laut. Akibatnya bencanapun datang secara tiba-tiba. Baru setelah itu manusia
tersadar kepada Alloh SWT.
Bus pun meninggalkan jembatan
Sungai Bengawan Solo. Perlahan hamparan sawah mulai terlihat kembali. Pohon-pohon
hijau terjajar begitu rapi di pinggiran jalan. Subhanalloh... sungguh eloklah
negeri ini, gumamku dalam hati. Burung-burung beterbangan mulai mencari makan
untuk anak-anaknya. Orang Arab bilang, Indonesia adalah ibarat potongan surga. Subhanalloh,
Maha Suci Alloh yang telah menciptakan bumi Indonesia yang indah ini. Tapi
sayang,..banyak orang-orang yang di dalamnya yang kufur nikmat, tidak mensyukuri
apa yang Alloh berikan di negeri ini. Kemaksiatan dimana-mana, korupsi mulai
dari pusat sampai bawah yang sudah tidak tahu malu lagi. Para pejabat sibuk
dengan harta kekayaaan mereka. Sementara di belahan Indonesia yang lain busung
lapar melanda rakyat kecil. Para pejabat saling berebut “menggendutkan” perut
mereka masing-masing. Para pemimpin semakin banyak yang berkhianat. Banyak
rakyat negeri ini menjerit kelaparan di negeri yang dibilang potongan surga
ini. Ibarat pepatah; rakyat kecil Indonesia ini “bagaikan ayam yang mati di
lumbung padi”. Sungguh ironis memang melihat kondisi negeri ini. Aku hanya bisa
berdoa di dalam hati dan ketika waktu sholat kepada Alloh SWT untuk merubah
bangsa ini agar menjadi lebih baik, tidak ada kelaparan, kemaksiatan, korupsi
di negeri ini lagi.
...”Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang – orang yang
bertaqwa. (QS. Al Furqon: 74)
Aku hanya bisa memandangi alam
luar sana dari dalam kaca bus yang masih berjalan dengan cepat. Lima belas
menit sudah bus melaju ke arah kota. Tak terasa bus sudah memasuki wilayah
perbatasan kota., tepatnya di Pungkruk, Sidoharjo. Di sini bus berhenti untuk
menurunkan penumpang. Agak lega rasanya setelah beberapa penumpang turun.
Nafaspun menjadi semakin lancar. Kulihat dari sisi kaca bus diluar sana tampak
kesibukan yang mulai nyata. Banyak kendaraan yang akan menuju arah Solo, ada
juga yang sedang menuju Kota Sragn. Bus-bus besar antar kota antar propinsi
banyak yang lalu lalang melewati ring road( jalan lingkar) utara Sragen. Kebanyakan
bus besar yang melewati ring road adalah bus –bus tujuan Surabaya. Kulihat Bus
sumber Kencono, Bus Mira, Bus Eka, dan bus besar yang lainnya tujuan Solo-
Sragen. Bus yang kutumpangi pun melaju lagi. Kali ini agak cepat, soalnya
berada di jalan ring road yang sedikit lengang. Arus jalan terlihat lancar. Kulihat
di jalan ringroad ini juga terhampar sawah hijau yang sangat luas.
Subhanalloh...betapa besar ciptaanMu ya Alloh.. Para penumpang pun banyak yang
sudah agak lega. Mereka sepertinya merasakan apa yang aku rasakan juga. Bisa benafas
dengan lancar, tidak sesak seperti tadi. Mereka sibuk berbicara dengan temannya
masing-masing. Ada yang bilang nanti ospeknya seperti apa, ada juga yang hanya
melamun dan diam karena belum mempunyai teman. Termasuk aku yang dia juga. Dasar
anak desa yang mau sekolah ke kota, mau bilang apa nanti di sekolah. Aku pun semakin
larut memikirkan nanti di sekolah ketika hari pertama masuk. Akupun sudah tau
hari ini akan ada ospek di sekolah. Segala bekal yang telah diperintahkan,
sudah aku bawa semua. Amanlah pokoknya kalu sudah lengkap, ujarku dalam hati.
Tak lupa aku juga memikirkan setibanya di sekolah. Aku mau berteman dengan
siapa, duduk di urutan berapa, bagaimana kondisi orang-orang kota. Jauh
pikiranku melayang hanya memikirkan kegundahan ku dihari pertama masuk SMA.
Buspun akhirnya sampai juga di depan SMP 6 Sragen. Tanda inilah yang aku
jadikan sebagai tempat berhenti bus menuju SMA. SMP 6...SMP 6...teriak pak
kondektur. Buspun berhenti di tempat ini. Tempat yang sangat strategis. Kerena
hampir kebanyakan penumpang turun di sini. Tempat ini. Tempat ini dijadikan penumpang
untuk turun. Tempat ini berupa perempatan jalan yang sangat strategis yang
mengubungkan SMA 2, SMA 3, SMK 2, SMK Sukowati, SMP 5 dan tentunya SMP 6 itu sendiri. Perlahan lahan aku mulai
berdesakan dengan penumpang lain untuk turun dari bus. Alhamdulillah...lega
rasanya, ujarku dalam batin. Jam menunjukkan pukul 06.30. Para penumpang mulai
berpencar menuju sekolah masing-masing. Ada yang langsung menuju SMP 6, bagi
mereka yang sekolah disitu. Ada yang jalan lurus bagi mereka yang SMA 2. Tapi
kebanyakan penumpang tadi menuju ke arah kanan jalan bersama ku. Ya memang, SMA
3, SMK2, SMK Sukowati, SMP 5 memang satu jalur denganku,hanya beda gang saja.
Perhatianku tertuju pada angkot warna kuning. Banyak anak-anak sekolah tadi
yang naik angkot untuk mengantar mereka ke sekolah. Sebenarnya jarak antara
tempat bus tadi berhenti dengan sekolah mereka masing-masing tidak terlalu jauh
bagiku. Kebanyakan mereka yang naik angkot adalah cewek. Aku tak menghiraukan
mereka yang naik angkot. Bagiku, mereka adalah anak-anak yang manja. Hanya
jalan sekitar 10 menit sebenarnya sudah sampai sekolah.
Akupun menlanjutkan
jalanku bersama rombongan anak-anak sekolah lain yang jalan. Sepanjang jalan
aku masih melihat hampatran sawah dan pohon-pohon hijau di daerah pinggiran kota
Sragen ini. Aku mengamati terus menerus, melayang layang pikiran ini melihat
indahnya ciptaan Alloh. Pohon-pohon berjajar dipinggir jalan, burung-burung
berkicau dengan merdunya. Kutatap langit biru secerah biru lautan samudra. Sinar
keemasan matahari seolah-olah menyapa diriku ini untuk menyamput episode baru
ini. Pandanganku terusik, ketika aku melihat sungai kecil dipinggir sebelah
kiri jalan. Airnya hitam pekat, seolah-olah menyiratkan kemuraman hari ini bagi
air tersebut. Kulihat air tersebut sangat memprihatinkan, ingin menangis karena
ternodai. Tetapi air tersebut mengalir dengan lancar. Bau menyengat air
tersebut sedikit berbeda dari bau-bau limbah yang lain. Ternyata sungai mungil
ini tercemari oleh limbah olahan tebu. Tercium dari dalam hidungku bau limbah
yang agak sedikit bercampur bau manis, dan wangi. Ah...sungguh aneh aku ini,
mana ada limbah berbau wangi.., ujarku dalam hati. Tapi ini memang benar
kenyataan begini. Apa mungkin penciumanku sudah tidak normal lagi, batinku juga
dalam hati. Ah...ga taulah, aku segera menepis perasaan aneh itu. Ternyata sungai
sekecil inipun tak luput dari pencemaran oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab. Langkahku semakin cepat. Waktu menunjukkan pukul 06.45. Agak
sedikit telat memang jalanku, mungkin karena aku terlalu banyak berkhayal di
jalan tadi, sehingga jalanku agak sedikit lambat. Dari kejauhan aku sudah dapat
melihat gerbang SMA 3 Sragen, sekolah yang aku tuju. Sekolah yang akan memulai
episode baruku dalam hidup ini. Akhirnya, dengan agak sedikit cepat,
kulangkahkan kaki ini menuju depan gerbang. Sampailah aku di sekolah yang baru
ini. SMA Negeri 3 Sragen, seolah-olah tersenyum melihat kedatanganku di hari
pertama sekolah. Aku memulainya dengan semangat yang membara. Kumulai dengan
lafaz “bismillah” aku siap memulai di sekolah ini. Dan semenjak itu, episode
baru dalam hidupku segera dimulai.
Sragen, 17 Februari 2012
---------------------------------------bersambung---------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar